LIK REJEKI

Selasa, 08 Juli 2014

Perempuan (yang) Tertindas

Anda pernah baca kutipan ini “Kekerasan terhadap perempuan, adalah tindakan dan perilaku kekerasan (fisik dan psikologis) yang dilakukan laki-laki kepada perempuan. Pelaku kekerasan terhadap perempuan biasanya (laki-laki)orang dekat perempuan yang menjadi korban. Misalnya ayah kandung dan tiri, suami, saudara laki-laki, teman kerja, majikan; maupun laki-laki pada umumnya, yang tidak dikenal korban sebelumnya, .  .”
Ketika membaca tulisan tersebut, di sela-sela tugas sebagai seorang kecil pada salah satu PTS terkemuka di Negeri ini, saya mau menjawab - memberi komentar, namun tak bisa, karena belum bergabung di Kompasiana.

Kisah perempuan yang sedih, tertindas, dan penuh ketragisan, bukan cuma ada di Jawa Barat, namun di mana-mana, pada berbagai penjuru Dunia, terutaman negara-negara miskin dan terbelakang, dan berkembang. Pada sikon sosio-kultural mereka, pada umumnya perempuan menjadi manusia kelas dua, yang sewaktu-waktu bisa diperalat oleh siapa pun.

Perempuan bisa sebagai sasaran amarah, pembunuhan, jual beli, bahkan menjadi alat tukar para lelaki dan juga oleh sesama perempuan. Pada kesempatan itu, perempuan hanya dan harus menerima keadaan, dan tanpa bisa menolak.

Di banyak tempat di negeri ini, sikon perempuan tak jauh berbeda. Mereka bisa berhenti sekolah demi saudara laki-lakinya; mereka bisa menikah/kawin mudah demi status ekonomi dan sosial orang tua; mereka pun, bisa menjadi isteri tanpa keterikatan administrasi agama dan negara, karena bisa dan dibolehkan. Mereka pun, bisa membawa keuntungan sangat besar pada orang-orang yang menjual dirinya.

Kadang, hati ini menjerit, namun suara jeritan tersebut tak terdengar, karena hanya hanya suara seorang perempuan biasa yang terkurung di atara tembok rumah, kampus, kamar; serta tembok besar yang tak terlihat di sekitar ku. Mau menangis, namun air mata tak mengikuti perintah hati untuk cengeng.

Tembok-tembok yang terlihat, masih bisa diterjang dan dilewati perempuan; namun tembok-tembok besar yang tak telihat lebih mengekang, menakutkan, dan membatasi kebebasan gerak seorang perempuan, sehingga ia, hanya nerima banyak hal dari luar dirinya dan bukan keinginan jiwanya.

Ah … masih banyak dan banyak lagi; namun cukup untuk hari ini 

RH/OurOI

Perempuan Pekerja, Perempuan yang Melayani


Dalam anggapan umum, kerja dan berkerja selalu mendapat upah atau sejumlah uang. Namun, pada kenyataannya tidak semua pekerjaan menghasilkan upah, tetapi juga kepuasan, keindahan, dan ketertiban ataupun orang lain merasa nyaman. Misalnya, seorang isteri yang bekerja di rumah, ia tidak menuntut upah dari suaminya, namun mendatangkan keindahan serta kenyamanan pada seluruh anggota keluarga. Pada konteks itu, sang ibu rumah tangga telah melakukan ministry atau melayani seluruh isi rumah. Berbeda dengan pembantu rumah tangga, ia melakukan serviceatau pelayanan karena ada upah yang akan didapatkannya.

Kerja dan hasil-hasil pekerjaan merupakan salah satu upaya untuk mencukupi dan memenuhi kebutuhan hidup dan sekaligus perbaikan keadaan sosial-kultural manusia. Kerja mempunyai nilai kepuasan dan ekonomi, sehingga merupakan usaha untuk mencapai kesejahteraan serta perubahan kualitas hidup dan kehidupan.

Nilai kepuasan dan ekonomi tersebut dirasakan (berdampak) pada orang yang bekerja serta institusi yang memberikan pekerjaan. Kepuasan karena mendapat upah yang layak serta sesuai tingkat pendidikan, ketrampilan dan kemampuan pekerja. Serta nilai kepuasan ekonomi yang didapat pemberi pekerjaan karena adanya keuntungan dari hasil kerja para pekerja.

Kerja (dan juga profesi) merupakan suatu tugas yang mempunyai makna, tujuan, dan nilai ganda; yaitu nilai kemanusiaan yang menyangkut sosial, ekonomi, budaya; serta nilai Ilahi. Kerja mengandung nilai kemanusiaan, karena merupakan upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupannya; serta melalui hasil (upah yang didapat) kerja, kehidupan dapat terus berlangsung. Kerja mempunyai nilai Ilahi; artinya melalui kerja manusia melaksanakan tugas dalam dunia milik TUHAN.

Karena adanya nilai ganda dalam bekerja tersebut, maka hasil kerja berupa upah, jasa, dan kepuasan dapat bermanfaat untuk orang lain, misalnya, anggota keluarga, masyarakat, maupun keuntungan pada pemberi kerja.

1357355431569335475Jadi, jika seorang perempuan kerja, bekerja, pekerjaan di office, di rumah, atau di mana saja, ia telah melakukan peran ganda; yang menyangkut serta berdampak ke/pada banyak orang. 

Pada umumnya, walau ia  adalah isteri dari seorang suami yang pekerja, hasil kerjanya, tidak untuk diri sendiri, namun kepada semua yang ada didekat dan dalam hatinya. Juga pada umumnya, perempuan pekerja biasanya lebih peka melayani hidup dan kehidupan (dalam arti ringan untuk membantu dan menolong sesama, dangampang menggunakan hasil kerjanya untuk menutupi kekurangan dalam keluarga) daripada laki-laki.

RHUDOYO/OI

Program KB Sebagai Salah Satu Cara Mengatasi Kekerasan terhadap Anak

Saya setuju dengan pendapat bahwa, “Hampir semua anak (-anak) dilahirkan karena keinginan ayah-ibunya (ini juga berarti, ada anak yang dilahirkan di luar rencana). Walaupun ada penyebutan anak di luar nikah, lebih bermakna anak yang dilahirkan sebelum sang ibu menikah; sedangkan perbuatan yang menjadikan anak itu ada, merupakan tindakan yang penuh kesadaran.” Dan, memang kenyataannya bahwa, ketika ia/mereka dilahirkan, tak ada yang protes, mengapa terlahir-dilahirkan dari ibu yang ini dan bukan yang itu; lho kok ayahku yang ini, bukan yang itu.

1358040942696960999Idealnya, setiap anak (-anak) mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan anak (misalnya bertambah besar, pintar, dan lain-lain) di tengah keluarganya, sangat berkaitan dengan berbagai faktor yang saling melengkapi satu sama lain. Semuanya itu, sekaligus menjadikan anak mampu berinteraksi dengan hal-hal di luar dirinya (misalnya orang tua, adik-kakak, teman sebaya, tetangga, sekolah, masyarakat, dan lain-lain).
Seiring dengan itu (perubahan, pertumbuhan, perkembangan), seringkali terjadi benturan-benturan ketika anak berhadapan dengan ayah-ibu mereka serta orang dewasa lainya. Dan tidak menutup kemungkinan, dampak dari benturan-benturan itu adalah berbagai bentuk perlakuan (kekerasan fisik, kata, psikhis yang dibungkus dengan kata-kata semuanya adalah nasehat dan didikan) orang dewasa kepada anak (-anak). [Kekerasan terhadap anak-anak adalah perilaku yang bersifat tindak penganiayaan yang dilakukan orang tua terhadap anak-anak usia 0 - 18 tahun, atau sepanjang mereka masih berstatus anak secara hukum].
Hal itu terjadi karena orang dewasa (atas nama orang yang melahirkan, yang memberi kehidupan, yang mengasuh, lebih tua, lebih dewasa, lebih pengalaman, lebih tahu, harus didengar, harus dihormati, dan lain-lain) menganggap anak (-anak) telah melawannya, bandel, tidak mau dengar-dengaran, keras kepala, serta telah melakukan banyak tindakan perlawanan terhadap orang yang lebih tua. Tindakan-tindakan dalam rangka upaya pendisiplinan, menuntut kataatan tersebutlah yang menjadikan orang tua memperlakukan anak-anak mereka secara fisik dan psikologis, sehingga berakibat penderitaan, tidak berdaya, bahkan kematian. Anak (-anak) yang menjadi korban kekerasan dari orang tuanya, mengalami ketakutan dan trauma pada dirinya. Ketakutan dan trauma tersebut menghantar mereka lari dari rumah dan lingkungannya. Tidak sedikit dari antara mereka yang akhirnya menjadi anak-anak terlantar, bahkan jadi bagian dari kelompok penjahat dan pelaku tindak kriminal lainnya.
Bentuk lain dari kekerasan anak-anak, adalah perdaganan anak-anak; perdagangan anak (-anak), merupakan transaksi jual-beli yang menjadikan anak (-anak) sebagai objek jual. Transaksi itu dilakukan oleh atau melalui pengantara ataupun orang tuanya sendiri; kasus perdagangan anak, sebagaimana laporan media massa, antara lain,
  • bayi dan anak yang kelahirannya tidak diinginkan oleh ayah-ibunya, biasanya akibat tindakan-tindakan seks bebas dan seks pra-nikah

  • anak-anak perempuan usia pra-remaja dan remaja putri, yang diculik, disekap, kemudian dijual, dan dipaksa sebagai pekerja seksual, di daerah yang jauh dari tempat asalnya; ada juga anak-anak dari keluarga-keluarga miskin, terutama berusia antara 5 - 10 tahun, kota dan desa, diculik oleh para bandit dan preman untuk dijadikan pengemis

  • orang tua menjual anak kandungnya sendiri, usia 0 - 5 tahun, karena kesulitan ekonomi; pada banyak kasus, orang tua dari keluarga miskin menjual bayi ataupun anak-anaknya, agar mereka terbebas dari kesulitan ekonomi

  • anak-anak yang dicuri atau diculik oleh para penjahat terhadap anak-anak; korban penculikan tersebut diperjualbelikan; terutama kepada keluarga yang kesulitan mempunyai anak kandung

Lalu, bagaimana dengan Program KB bisa memjadi salah satu cara untuk mengatasi kekerasan terhadap anak …… !? ya, tentu saja bisa. Tingginya populasi penduduk di Indonesia, yang tak seimbangan serta sebanding dengan laju kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi, serta upah hasil kerja (penghasilan individu), tentu mempengaruhi pemenuhan kebutuhan rumah tangga, termasuk pembiayaan pertumbuhan dan perkembangan anak. Dengan demikian, aspek-aspek pertumbuhan dan perkembangan (sekalipun yang minimal) juga mengalami pengurangan dan hambatan; orang tua tak bisa melakukan penyediaan, karena tak ada biaya untuk hal-hal tersebut. 
Mungkin, saja kebanyakan dari kita, masih berpikir banyak anak, banyak rejeki; atau dan tiap-tiap orang mempunyai rezeki masing, sehingga tak apa-apa jika mempunyai banyak anak.  Oke, oke saja, jika berpedoman seperti itu, namun fakta dan realitas yang pada masa kini, agaknya pendapat di atas, tak sepenuhnya benar. Lihatlah, tak sedikit anak-anak terlantar, anak-anak nakal, yang datang dari keluarga-keluarga pra-sejahtera yang mempunyai banyak anak. 
Dengan demikian, ikuti-mengikuti Program KB, hendaknya menjadi gaya hidup yang sangat, sangat, sangat patut ditularkan kepada semua orang. KB bukan membatasi laki-laki dan prrmpuan atau suami-isteri melakukan ML; KB bukan untuk melawan kehendak Tuhan agar manusia berketurunan; KB juga bukan dalam rangka pembatasan agar manusia tidak berketurunan; melainkan dalam rangka Keluarga (yang)Bertanggungjawab, ayah-ibu atau orang tua yang bertanggungjawab.Bertanggungjawab itu, menyangkut makna sangat luas dan berhubungan dengan banyak aspek. 
Oleh sebab tu, kita, terutama kaum perempuan (yang mempunyai prt perempuan atau pekerja rumah, misalnya tukang kebon, sopir, dan lain sebagainya) tentu saja, bisa membantu mengedukasi mereka, agar memahami Program KB dengan baik dan benar, dalam rangka masa depan anak-anak.
RET/HUD/OI

Perempuan Menurut Perempuan


Semua agama samawi (Yahudi-Katolik-Kristen-Islam) mempunyai pandangan yang hampir sama tentang asal mula manusia laki-lakidan manusia perempuan Ajaran agama-agama tersebut (walaupun dengan pengungkapan yang berbeda)  setuju bahwa Tuhan lah yang menciptakan alam semesta dan segala sesuatu yang terbentang di dalamnya, termasuk manusia.

1358080932959695739Sang Pencipta, menciptakan manusia dalam perbedaan gender yang sepadan, agar mereka saling menghormati dan menghargai. Ini berarti (kita) tidak boleh membagi manusia menurut berbagai perbedaan kaya miskin, kedudukan, derajat dalam masyarakat, bahkan meniadakan sentimengender

Akan tetapi, dalam perkembangan kemudian, suasana harmonis antaramanusia laki dan manusia perempuan tersebut menjadi rusak. Bumi (tepatnya lingkungan hidup dan kehidupan) menjadi dunianya laki-laki, danrumah atau tempat tinggal menjadi dunianya perempuan. Ketidakharmonisan ini semakin berkembang sehingga perempuan tidak lagi dinilai sebagai manusia seutuhnya tetapi dihargai sama seperti harta milik seorang laki-laki. Karena sebagai harta milik, maka perempuan “menjadi sekedar aksesoris laki-laki yang memilikinya.” Perempuan diberi “batasan dan larangan-larangan” sehingga walaupun dalam hatinya ia memberontak tetapi suara dan gerakanpemberontakkannya tidak terdengar.

Pada umumnya, perempuan tetap berada dalam kotak “sebagai mahluk lemah yang membutuhkan perlindungan” dan harus ditolong, serta hanya mampu berkarya dalam dunianya yaitu memasak, melahirkan dan menyusui anak-anak. Sikon seperti itu, menjadikan perempuan hanya berusaha dan berkarya di lingkungan yang tidak mampu dilakukan oleh laki-laki. Artinya hanya mengfokuskan diri sebagai makhluk yang haid, hamil, melahirkan, dan menyusui, serta menyediakan makanan untuk laki-laki.

Padahal, yang seharusnya terjadi adalah kemitrasejajaran harmonis antara laki-laki dan perempuan yang ditandai dengan adanya sikap saling peduli, menghormati, menghargai, membantu, dalam suasana kebersamaan, dalam proses pembangunan, kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, termasuk bidang keagamaan. Perempuan mempunyai potensi yang sama baiknya dengan laki-laki. Namun, potensi itu (kadang) belum kelihatan (akibat perlakuan tak seimbang yang ia dapatkan/terima), karena itu harus terus digali dan ditumbuhkan.

Pemberdayaan perempuan sesungguhnya mengacu pada semua manusia diciptakan dengan hak-hak yang sama. Jadi, wajar jika perempuan mendapat kesempatan sama dalam bidang pekerjaan, peran dalam masyarakat, serta aspek-aspek lainnya dalam hidup dan kehidupan. 

RH/JM/OI

[Untuk Para Ibu] Gejala Pengguna Narkoba

Beberapa hari terakhir, terungkap ke publik adanya kekerasan fisik dan kekerasan plus pelecehan seksual terhadap anak (dan anak-anak). Media massa begitu semangat dengan penuh kehangatan memberikatakan kasus-kasu tersebut. Dan itu, tak salah; news tentang keburukan serta kebusukan tersebut, menjadi perhatian dan percakpan di mana-mana.
Agaknya, media begitu cepat menyebar berita jika ada penyimpangan, kekerasan, pelecehan, namun cenderung diam dan mendiamkan news yang bersifat edukasi (dan solusi serta jaga diri) kepada orang tua, anak, remaja agar terhindar dari malapetaka yang menimpa anak-anak.
Di samping itu, ada juga hal yang kini sepi dari pemberitaan media, yaitu tentang bahaya narkoba; media akan heboh jika ada artis, orang terkenal, atau pejabat publik yang tersandung narkoba. Dan, kadang pemberitaannya seakan ajakan agar orang lain ikut mencobanya.  Prihatin.

Akibatnya, banyak orang tua, orang dewasa, anak, remaja, yang tak tahu bahaya dan ciri-ciri kecanduan narkoba/tika. Sebagai contoh, kemarin, beberapa waktu yang lalu, tak jauh dari tempat kerja dan kediaman saya, ada anak remaja/abg  yang teler dan tak berdaya di pinggir rel KA, dengan ciri-ciri kecanduang narkoba/tika.

Jika seperti itu, siapa yang salah!? Orang tua, penegdar, atau memang sikon ssosial serta pergaulan mereka; mungkin kita tak bisa menjawab dengan pasti.  Oleh sebab itu, adalah lebih baik jika mengetahu sejak dini ciri-ciri, tanda-tanda, gejala pengguna narkoba/tika.

Secara umum, mereka, para pengguna narkoba/tika datang dari proses pertumbuhan dan perkembangan yang tidak utuh atau lengkap. Kehidupan keluarga yang kurang religius, hubungan antar keluarga tidak akrab, perceraian orang tua; orang tua tunggal. Sifat mudah kecewa dan cenderung menjadi agresif dan destruktif, perasaan rendah diri.

Di samping itu, ia atau mereka gagal mengaktualisasi diri; kemampuan aktualisasi diri yang rendah, dengan ciri: cepat bosan, tidak sabar, murung, merasa tertekan dan tidak sanggup, merasa selalu gagal berfungsi dalam kehidupan setiap hari, alienasi sosial, kuper, dan lain lain.

Juga ada ciri psikologis seperti suka mencari sensasi, dan melakukan hal-hal yang mengandung resiko bahaya, [untuk menutupi kekurangan dirinya], ingin tampil beda. Suka dan selalu melakukan protes sosial kepada orang dewasa dan institusi yang mengikatnya [keluarga, sekolah, tempat kerja, lembaga keagamaan, dst]. Kurangnya motivasi untuk mencapai keberhasilan akademis -prestasi belajar rendah-; jarang -bahkan tidak mau- mengikuti kegiatan olahraga.

Pada kasus tertentu, pengguna narkoba/tika juga cenderung mengalami gangguan jiwa -ringan sampai berat- misalnya cemas-obsesi-takut yang berlebihan, apatis, menarik diri dari pergaulan, depresi, dll. Ada gejala retardasi mental, hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan. Mengalami -atau pernah mengalami- kekerasan dan penyimpangan seksual, misalnya korban paedophilia, pemerkosaan dari kaum homo seksual ataupun lesbian; mengalami pengalaman seksual belum pada waktunya [ seks pra-nikah ]. Lingkungan pergaulan sosial buruk, bergaul dengan sesamanya yang putus sekolah, suka mencuri, sering berbohong, agresif, produk broken home, pendidikan rendah, kaum marginal yang tertekan.

Pengaruh anggota keluarga -dan peer group- yang peminum serta pemakai, perokok pada usia muda. Lari dari realitas kehidupan; misalnya akibat perilaku orang tua di rumah; tidak sanggup memenuhi tuntutan orang tua; kemiskinan; kekayaan; membalas dendam terhadap perlakuan orang tua; niat mempermalukan orang tua karena keinginannya tidak dituruti;. Mengalami penolakkan dari lingkungan sosial dan keluarga, misalnya ayah atau ibu tiri, klub olahraga, dan lain sebagainya 

http://retnohartati.8m.net/blank_7.html

Praxis

Translating an idea into action; Use; practice; especially, exercise or discipline for a specific purpose or object. Praxis dipahami sebagai tindakan reflektif, yaitu praktik yang diinformasiakn oleh refleksi teoretis; atau sebaliknya, refleksi teoretis yang diinformasikan oelh praktik. Praxis  tak sama dengan atau beda tipis dengan practice; practice konotasinya lebih tertuju pada keahlian ataupun teknik, atau sesuatu yang dilakukan sebagai aplikasi teori; sehingga practice merupakan lawan dari teori.

Hal tersebut beda dengan praxis. Praxis berusaha mempertahankan teori  dan teori bersama-sama sebagai dua saat yang saling memperkaya dari kegiatan manusia yang sama, dan dilakukan dengan sengaja, [Thomas H.Groome, 1980].

Praxis, menurut Aristoteles, merupakan salah satu dari tiga cara (yaitu theoria, praxis, dan poiesis) orang (seseorang) dan cerdas melihat serta berhubungan dengan kehidupan; suatu kegiatan yang menimbulkan pengertian. Ini dia sebut theoria, praxis, dan poiesis. Hasilnya adalah tiga gaya hidup yaitu, kehidupan spekulatif, kehidupan praktis dan kehidupan spekulatif, dan kehidupan produktif.

Kehidupan spekulatif adalah kehidupan kontemplasi dan refleksi. Kehidupan praktis adalah kehidupan etis yang dijalani dalam konteks politik. Kehidupan produktif adalah kehidupan yang diabdikan untuk membuat artefak-artefak, atau usaha-usaha artistik.
Tiga gaya hidup itu adalah kegiatan manusia cerdas yang dapat mengambil tiga bentuk berbeda. Dalam arti, mereka adalah tiga cara refleksi yang berbeda bagi subjek untuk berhubungan dengan dunia yang objektif; yang juga berarti tiga cara mengetahui yang berbeda.

Cara mengetahui praxis (praksis) adalah dengan keterlibatan reflektif dalam situasi sosial. Poiesis sebagai sebuah cara mengetahui terwujud dalam dan muncul dari “membuat”. Sebagai cara-cara mengetahui, ketiganya berbeda ter-utama dalam telos mereka dan yang diharapkan adalah hasil-hasilnva. Pengetahuan teoretis bertujuan untuk pengetahuan teoretis itu sencliri pengetahuan praktis bertujuan untuk mengatur tindakan sosial manusia, dan pengetahuan (yang) produktif, membangun, berguna untuk hidup serta kehidupan.

Praxis, sesuai makanya, hampir menunjuk ke setiap jenis kegiatan lahiriah secara sengaja oleh orang-orang yang bebas. Dalam arti yang lebih terbatas, menggambarkan “tingkah laku manusia yang yang bermanfaat dan rasional. Praxis dalam makna yang paling teknis menggambarkan tingkah laku etis dalam konteks politik. Dengan demikian dapat menjalani (tindakan-tindakan) etis atau sesui etika dalam konteks politik; atau sebaliknya, menjalani kehidupan politik sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang bertanggung jawab.

Sayangnya, pada banyak tempat, waktu, dan era, para politisi lebih suka pada politik praktis yang gampangan, bukan praxis yang bermakna dalam, sehingga tampilan berpolitiknya lebih bermartabat serta bemanfaat.

RH/JMp/OI

Hubungan Manusia dengan Alam

1… orang menambang perak dan tempat orang melimbang emas; 2besi digali dari dalam tanah, dan dari batu dilelehkan tembaga. 3 Orang menyudahi kegelapan, dan batu diselidikinya sampai sedalam-dalamnya, di dalam kekelaman dan kelam pekat. 4 Orang menggali tambang jauh dari tempat kediaman manusia, mereka dilupakan oleh orang-orang yang berjalan di atas, mereka melayang-layang jauh dari manusia. 5 Tanah yang menghasilkan pangan, dibawahnya dibongkar-bangkir seperti oleh api. 6 Batunya adalah tempat menemukan lazurit yang mengandung emas urai. 7 Jalan ke sana tidak dikenal seekor burung buas pun, dan mata elang tidak melihatnya; 8 binatang yang ganas tidak menginjakkan kakinya di sana dan singa tidak melangkah melaluinya. 9Manusia melekatkan tangannya pada batu yang keras, ia membongkar-bangkir gunung-gunung sampai pada akar-akarnya; 10 di dalam gunung batu ia menggali terowongan, dan matanya melihat segala sesuatu yang berharga; 11 air sungai yang merembes dibendungnya, dan apa yang  tersembunyi dibawanya ke tempat terang, [Ayub 28, 1-11].

Sebelum manusia hadir, alam semesta telah ada. Alam telah terbentuk, jauh sebelum ada manusia; dan manusia dengan “sok tahunya,” menyatakan bahwa TUHAN Allah lah yang menciptakan alam semesta dengan sungguh amat baik; dan itu disediakan untuk manusia; alam semesta disediakan sebagai pesemaian manusia.

Dan menurut yang empunya kisah, manusia di tempakan di  Taman Eden. Di tempat itu, manusia belajar dan berhasil membangun hubungan yang harmonis dengan sesamanya, lingkungan, flora, fauna. 

Jadi, ada hubungan timbal balik antara manusia dan alam. Tercipta hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara manusia-alam. Ketika manusia berdosa, keharmonisan hubungan tersebut menjadi rusak, termasuk lingkungan hidup. Pemberdayaan alam, tidak terbatas pada memenuhi kebutuhan manusia, melainkan untuk mencapai semua keinginannya. Jika setiap hari [masa, saat, era], pada diri manusia terus menerus muncul berbagai keinginan baru, maka ia pun berupaya untuk mendapatkannya. Dan cara terbaik untuk itu adalah mengambil dari alam, akan tetapi, setelah itu bukan berarti membiarkan alam dalam keadaan rusak dan porak poranda.

Pada umumnya, tiga kategori hubungan manusia-alam atau alam-manusia, yaitu alam harus ditakuti; alam harus ditaklukan; dan menjaga keselarasan alam.

Alam harus ditakuti
Relasi manusia-alam seperti ini, muncul karena  kesadaran bahwa dirinya [manusia bersangkutan] hanya merupakan bagian terkecil dari alam semesta; lemah dan tak berdaya; sedangkan alam mempunyai kekuatan dan kuasa yang maha dasyat. Sehingga tidak ada seorang pun mampu menguasai dan menakklukan kekuatan alam tersebut. Bahkan, pada komunitas masyarakat tertentu, memahami bahwa ada bagian-bagian pada alam merupakan pribadi yang harus dihormati; ataupun ada pribadi tertentu yang menguasai alam; ia bisa mencurahkan murkanya jika manusia merusak wilayah kekuasaannya.

Pada konteks komunitas masyarakat alam harus ditakuti, biasanya membangun serta menghasilkan unsur-unsur budaya yang berakar dari relasi tersebut, Misalnya, agama-agama suku asli; salah satu ciri khas masyarakat penganut agama suku adalah berhubungan dengan alam. Mereka memahami bahwa alam [gunung, pohon, hutan, sungai, dan lain-lain] mempunyai penunggu atau penguasa; ia adalah pribadi yang mempunyai kekuatan, bisa marah, memberi berkah,  dan lain-lain. Oleh sebab itu, manusia harus sesering mungkin memberi sedekah kepada parapenunggu atau penguasa tersebut; manusia tidak boleh atau dilarang memasuki dan merusak area kekuasaan sang penunggu dan penguasa itu, karena merupakan wilyah suci serta keramat; jika wilayah suci serta keramat tersebut rusak maka manusia akan mengalami berbagai bencana karena amarah sang penunggu atau penguasa alam.

Namun, pada sisi lain, karena adanya pembatasan itu, maka manusia cenderung apatis, menyerahkan segala sesuatu pada kebaikan dan kemurahan alam. Manusia hanya menggunakan hal yang tersedia di alam untuk kebutuhan hidup dan kehidupannya. Di samping kecenderungan apatis, relasi ini menghasilkan penyembahan kepada alam atau ciptaan. Manusia memberi sedekah kepada penunggu atau penguasa alam agar mendapat berkah, keselamatan, dijauhkan dari berbagai malapetaka, dan lain sebaginya. Jadi, muncul agama-agama asli yang bersifat animisme, dinamisme, spiritisme, dan totemnisme.

Alam harus ditaklukan. 
Karena TUHAN Allah tidak mencabut kemampuan untuk mengembangkan hidup dan kehidupannya, maka manusia tetap menggunakan mandat menaklukan ciptaan serta memanfaatkannya untuk bertahan hidup. Tujuan menaklukkan alam agar hidup dan kehidupan manusia tetap ada dan terus berlangsung, merupakan sesuatu yang harus terjadi. Manusia tidak bisa hidup dengan tanpa menggunakan segala sesuatu yang ada pada alam. Ketergantungan manusia-alam atau alam-manusia, menjadikan manusia menggunakan hasil alam untuk kelangsungan hidup dan kehidupannya. Manusia-alam atau lingkungan hidup-manusia, kedua-duanya tak dapat dipisahkan satu sama lain.

Dan dalam perkembangannya, sebagai upaya menaklukan alam, manusia mengeksploitasi serta mengeksplorasi alam untuk mencapai keingingan dan tujuannya. Dengan kemampuan dan kemajuan yang ada, manusia melakukan eksploitasi dan eksplorasi dalam perut Bumi, di permukaan Bumi, serta di luar Bumi atau alam semesta.

Sebelum manusia menemukan tekhnologi tinggi untuk masuk ke dalam perut bumi, Alkitab telah mengungkapkan bahwa ada manusia menambang dan menemukan mineral dari dalam Bumi. Mereka melakukan hal tersebut dengan tujuan yang  jelas dan penuh keteraturan. Oleh sebab itu, untuk menemukan yang dicari dari perut bumi, manusia tidak meninggalkan pelbagai kerusakan dan kehancuran. Akan tetapi, kenyataannya, ketika menemukan apa yang diinginkan misalnya, setelah merambah dalam perut Bumi. Dan akibat dari semua itu, adalah terjadi kerusakan dan ketidakseimbangan ekosistem.

Demikian juga, eksploitasi dan eksplorasi di permukaan Bumi, misalnya, membendung air sungai; mengambil hasil hutan dan laut; merubah struktur alam dengan pembangunan, dan lain-lain. Semuanya itu, menjadikan Bumi, pada satu sisi tertata baik; namun pada pihak lain, Bumi dibiarkan dalam keadaan yang berantakan karena ketidakpedulian manusia.

Sifat dan sikap egois dan keserakahan, pada umumnya telah mendorong manusia mengeksploitasi alam sehingga keharmonisan ekosistem menjadi terganggu dan rusak. Manusia menjadi lupa [atau pura-pura tidak tahu?] bahwa ulahnya akan menghancurkan lingkungan di mana ia berada. Keteraturan ekosistem menjadi rusak akibat penetrasi manusia. Karena itu, alam bereaksi terhadap tindakan manusia, hingga mengakibatkan kehancuran hidup dan kesengsaraan manusia.

Pada konteks kekinian, pada banyak tempat, terjadi ekploitasi dan eksplorasi terhadap alam [dalam, di atas, dan luar Bumi]. Hal tersebut manusia lakukan dengan tekhnologi sederhana maupun tinggi; memakai perlengkapan atau alat-alat bantu manual dan mekanis [mesin] yang rumit. Kesemuanya itu meninggalkan sampah tekhnologi [sederhana dan tinggi] dan dibiarkan tercecer, sehingga merusak lingkungan, dan ketidakaturan serta ketidaksimbangan ciptaan.
Kerusakan dan ketidakseimbangan tersebut, ditambah dengan penggunaan hasil tekhnologi yang tidak ramah lingkungan, berdampak pada [perubahan] iklim dan musim; serta kerusakan pada alam. Akibatnya, muncul berbagai bencana alam [dan berbagai penyakit] karena kesengajaan struktural serta terencana yang dilakukan manusia. Misalnya, banjir akibat eksploitasi hasil hutan, tanpa reboisasi; gelombang pasang yang mencapai darat, karena tanaman pesisir pantai dirusak; lenyapnya berbagai spesies flora dan fauna karena lingkungan hidupnya dirusak; naiknya suhu Bumi, akibat pemanasan global, dan lain-lain.

Relasi terbaik manusia-alam pada konteks lingkungan hidup, adalah manusia harus menjaga keselarasan dengan alam. Ada kesadaran pada tiap orang bahwa peran sebagai pemegang mandat dari TUHAN Allah, sekaligus mempunyai tanggungjawab penataan lingkungan hidup dan kehidupan. Kesadaran seperti itu, mungkin hanya ada pada sedikit umat manusia.

Pada sikon tertentu, hubungan manusia-alam, seperti pada budaya dan agama suku, lebih baik dari mereka yang berasal dari masyarakat kota dan industri. Pada penduduk pedesaan dan terpencil, yang menjaga hubungan dengan alam melalui larangan-larangan memasuki wilayah tertentu, paling tidak menunjukkan penataan dan kelestarian lingkungan hidup dan kehidupan. Dengan itu akan tercipta keteraturan ciptaan yang memuliakan TUHAN Allah.

Menurut ajaran agama-agama, kelangsungan alam semesta karena adanya pemeliharaan TUHAN Allah terhadap ciptaan. Namun, Ia telah memberi mandat kepada manusia untuk mengelola dan menata alam semesta. Dan karena mandat tersebut, di samping memunculkan atau adanya kemajuan, manusia pun telah merusak lingkungan hidup. Dengan demikian, upaya untuk menjaga serta menjaga keselarasan alam merupakan tanggungjawab mereka yang telah merusaknya.

Menjaga dan menciptakan keselarasan dengan alam, sekaligus mencerminkan adanya penatalayanan untuk melanjutkan karya pemeliharaan dan pelestarian atau konservasi alam. Juga memperlihatkan bahwa, manusia [sekarang atau di saat ini] masih mempunyai kepedulian pada generasi yang akan datang. Karena jika generasi masa kini [sekarang] membiarkan lingkungan hidup dalam keadaan berantakan, tidak tertata, rusak, maka bisa dipastikan di era akan datang [setelah hidup dan kehidupan sekarang], hidup dan kehidupan manusia akan menjadi atau semakin sulit. Kesulitan berupa penyakit-penyakit  yang muncul akibat kesalahan menggunakan hasil iptek.


Manusia diberikan kebebasan untuk berkuasa dan sekaligus mengolah dan menata lingkungan hidup. Semua karya hidup dan kehidupan manusia, dalam hubungan dengan lingkungan hidup, juga merupakan tugas manusia di dunia milik TUHAN. Oleh sebab itu, ia harus melakukan semuanya dengan penuh ketaatan kepada TUHAN Allah. Akan tetapi, agaknya manusia telah memilah-milah  bumi dan menjadikan milik pusakanya.
13824093021729504495
koleksi pribadi/
Upaya menjaga keselarasan dengan alam atau menata lingkungan hidup dan kehidupan dapat dilakukan oleh semua orang, seluruh lapisan masyarakat; bisa dikerjakan oleh semua umat manusia tanpa membedakan perbedaan SARA, tingkat pendidikan, status sosial, dan lain-lain. Upaya itu bisa dimulai dengan hal-hal yang sederhana, misalnya penyediaan tempat sampah di area-area umum dan terbuka; menanam bunga atau pohon di sepanjang jalan raya; membuat taman-taman kota atau menciptakan hutan dalam kota.

Upaya menjaga keselarasan alam, bisa juga dikerjakan dengan tekhnologi tinggi serta pembiayaan yang besar, misalnya, pengelolaan atau daur ulang sampah; mengatur emisi gas buangan mesin-mesin kendaraan bermotor dan pabrik sehingga seminim mungkin mengandung racun; reboisasi hutan daratan dan  pesisir pantai; penataan lingkungan perumahan dan daerah aliran air sungai, termasuk penggunaan hasil iptek yang ramah lingkungan, dan lain sebagainya.

Lalu, di manakah umat anda dan saya? Dimanakah kita!? Di mana mereka berperan? Sebagai perusak atau penata lingkungan hidup? Agaknya umat beragama yang menjadi bagian dari masyarakat kota dan industri lah yang paling bertanggungjawab terhadap penataan [ulang] lingkungan hidup.

RH/JMP/OI

Ciri-ciri Identitas dan Integrasi Nasional

Bangsa terbentuk oleh persamaan bahasa, ras, agama, peradaban, wilayah, Negara dan kewarganegaraan; bangsa bukan suatu ras, bukan pula orang-orang yang mempunyai kepentingan yang sama, bukan pula dibatasi oleh batas-batas geografis atau bahasa alamiah.  Sedangkan Negara adalah suatu organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang bersama – sama mendiami satu wilayah tertentu dan mengakui adanya satu pemerintahan yang mengurus tata tertib serta keselamatan sekelompok manusia tersebut.

Teori terjadinya Negara:  Teori kenyataan; timbulnya sesuatu Negara ketika telah terpenuhi unsur – unsur Negara (daerah, rakyat dan pemerintah yang berdaulat) maka pada saat itu juga Negara sudah menjadi suatu kenyataan. Teori ketuhanan; timbulnya Negara karena Tuhan menghendaki. Teori perjanjian; Negara timbul karena adanya perjanjian yang diadakan antara manusia yang tadinya hidup bebas merdeka, terlepas satu sama lain tanpa ikatan kenegaraan. Perjanjian ini diadakan agar ada penguasa yang bertugas menjamin kepentingan bersama dapat terpelihara, agar manusia tidak saling memangsa (Homo homini lupus, menurut Thomas Hobbes).

Bentuk Negara: Negara kesatuan adalah Negara yang diatur oleh pemerintah pusat yang memegang seluruh kewenangan pemerintahan. Dalam pelaksanaan pemerintahannya dapat berupa sistem sentralisasi atau sistem desentralisasi. Negara serikat, (federasi) adalah Negara yang terdiri atas beberapa Negara bagian. Negara bagian diberi kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri, kecuali urusan pertahanan, keuangan, politik luar negeri dan peradilan.

Mencari dan mengembangkan jati diri bangsa, dapat dengan menemukan kembali atau memperoleh kesadaran baru melalui dua pandangan. Pertama mengartikan jati diri bangsa sebagai konsep theologies, identik dengan fitrah manusia, maka jati diri bangsa merupakan kualitas universal yang inheren pada semua manusia yang ada di dalamnya. Kedua melihat jati diri bangsa Indonesia sebagai konsep politik, khususnya budaya politik.

Jati diri bangsa Indonesia tidak saja menyangkut persamaan simbolis lahiriah (misalnya, cara berpakaian), tetapi yang lebih esensial adalah keterkaitan dan komitmen terhadap nilai – nilai kultural yang sama. Jati diri bangsa Indonesia terkait kesadaran kolektif yang terbentuk melalui suatu proses sejarah yang panjang melalui kearifan para pembentuk Negara. Manifestasi jati diri bangsa Indonesia direfleksikan dalam budaya sipil, yang mencapai titik kulminasinya disaat diikrarkannya Sumpah Pemuda dan Proklamasi Kemerdekaan.
Pembentukan jati diri bangsa Indonesia yang multikultural, tidak melalui hubungan yang dominan atau paksaan antara mayoritas dan minoritas, tetapi melalui proses yang saling menguntungkan (simbiose-mutualistis)

Nasionalisme dapat diartikan sebagai paham untuk mencintai bangsa dan Negara sendiri. Nasionalisme adalah suatu pernyataan pendapat dan kesadaran (state of mind and an act of consciouniness) jadi sejarah pergerakan nasional harus dianggap sebagai suatu sejarah pertumbuhan pendapat (history of idea). Pernyataan ini secara sosiologis, ide, pikiran, motif, kesadaran harus selalu dihubungkan dengan lingkungan yang konkret dari situasi sosiohistoris. Awal terbentuknya nasionalisme lebih bersifat subjektif karena lebih merupakan reaksi kelompok (group group consciousness corporate will), dan berbagai fakta mental lainnya. Ciri khas nasionalisme Indonesia menurut Lemhannas
  • Bhinneka Tunggal Ika, tidak bersifat uniform, monolit dan totaliter, melainkan mengakui keanekaan budaya, bahasa, adat dan tradisi local se-Nusantara

  • Universalistik karena pengakuaannya terhadap harkat kemanusiaan yang universal

  • Terbuka secara kultural dan religious, karena ternyata bangsa Indonesia tidak menutup diri dan merupakan pertemuan dari beraneka ragam budaya dan agama

  • Percaya diri, dengan menjalin komunikasi dengan tetangga dan dunia
Unsur pembentuk Identitas Nasional Indonesia terdiri dari :
  • Suku bangsa, bangsa Indonesia terdiri atas ratusan suku bangsa, yang mempunyai adat istiadat, bahasa, budaya daerah yang berbeda-beda dan mendiami ribuan pulau di wilayah Nusantara. Wilayah Nusantara, wilayah nasional Indonesia yang terdiri dari beribu – ribu pulau besar dan kecil yang tersebar dan terbentang di khatulistiwa serta terletak pada posisi silang yang sangat strategis, memiliki karakteristik khas yang berbeda dari Negara lain. Kekhasan tersebut antara lain terletak pada,  Luas wilayah ± 5 juta km2 diman 65% wilayahnya terdiri dari laut/perairan, sedang sisanya berupa darat yang terdiri dari 17.508 pulau besar dan kecil; kondisi dan konstelasi geografi Indonesia mengandung beraneka ragam kekayaan alam baik yang berada didalam maupun diatas permukaan bumi.Agama, di Indonesia terdapat sejumlah agama aliran kepercayaan yang dianut oleh masyarakat secara eksklusif serta melaksanakan tata ibadah menurut kepercayaan itu

  • Bahasa, di Indonesia terdapat beragam bahasa daerah yang mewakili banyaknya suku bangsa, maka diperlukan penyatuan bahasa sebagai alat untuk memudahkan komunikasi antar suku

  • Budaya. Kebudayaan Indonesia adalah penjelmaan kebersamaan sebagai bangsa yang menghuni nusantara yang merupakan manifestasi ke-kitaan kebangsaan Indonesia. Kita sebagai pengemban kebudayaan dan kebangsaan Indonesia, tidak bisa mengingkari kenyataan hidupnya yang pluralis dalam sistem kepercayaan, bahasa, kesenian, kesejarahan dan pengetahuan

  • Ideologi Pancasila. Pancasila sebagai ideologi Negara Indonesia dimuat dalam pembukaan UUD 1945 sebagai sistem idea secara normatif memberikan persepsi, landasan serta pedoman tingkah laku bagi suatu masyarakat/bangsa dalam kehidupannya untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan bangsa dan Negara. Ideologi Pancasila patut dijadikan pandangan hidup dari bangsa Indonesia (way of life), dasar filsafat NKRI (philosophy of state), dan norma dasar (staatsfundamentalnorm) dalam menjalankan segala aktivitas kehidupan baik sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam tatanan berbangsa dan bernegara
Semua unsur identitas nasional, yaitu suku bangsa, wilayah nusantara, agama, bahasa dan budaya yang serba majemuk dirangkum menjadi satu dan dijadikan motivasi perekat bangsa (sesanti) dan identitas nasional, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Hal ini merupakan modal dasar pembangunan nasional dan enjadi ciri khas  bangsa Indonesia diantar bangsa lainnya didunia.

Untuk mewujudkan identitas nasional, diperlukan integrasi nasional yang kokoh. Integrasi sering disamakan dengan pembauran, padahal kedua istilah tersebut memiliki perbedaan. Itegrasi ialah integrasi kebudayaan, integrasi sosial yang berwujud pluralisme, sedangkan pembauran ialah asimilasi dan amalgimasi. Integrasi kebudayaan berarti penyesuaian antar dua atau lebih kebudayaan. Interaksi sosial ialah penanggulangan masalah konflik melalui modifikasi dan koordinasi dari unsur– unsur kebudayaan baru dan lama yang merupakan penyatupaduan kelompok masyarakat yang asalnya berbeda, menjadi suatu kelompok besar dengan cara melenyapkan perbedaan dan jati diri masing-masing.

Integrasi nasional adalah penyatuan bagian-bagian yang berbeda dari suatu masyarakat menjadi suatu keseluruhan yang lebih utuh atau memadukan masyarakat-masyarakat kecil yang banyak jumlahnya menjadi suatu bangsa. Selain itu dapat pula diartikan bahwa integrasi bangsa merupakan kemampuan pemerintah yang semakin meningkat untuk menerapkan kekuasaan diseluruh wilayah.

Dengan demikian upaya integrasi nasional yang mantap perlu terus dilakukan agar terwujud integrasi bangsa Indonesia yang diinginkan. Upaya pembangunan dan pembinaan integrasi nasional ini perlu, karena pada hakekatnya integrasi nasional tidak lain menunjukkan tingkat kuatnya kesatuan dan persatuan bangsa yang diinginkan. Pada akhirnya persatuan dan kesatuan  bangsa inilah yang dapat lebih menjamin terwujudnya Negara yang makmur aman dan tentram.



Ancaman utama setiap bangsa adalah disintegrasi yang tidak saja terjadi pada bidang sosial, yaitu ideologi, politik, ekonomi, social budaya, pertahan keamanan semata; tetapi juga merembet kearah perpecahan fisik atau wilayah. Jadi salah satu upaya mencegah terpecahnya wilayah setiap bangsa hendaknya memiliki wawasan yang sama atas wilayah yang diklaim a miliknya dan harus dipertahankan hinga akhir hayat.

RH/OI/JMP

Hedonisme


Oleh sebab itu, mereka selalu melakukan pengerahan sejumlah tentara untuk ekspansi kekuasaan sekaligus mendapat kepuasaan batin, ketika melihat darah tercurah akibat tusukan pedang dan tombak. Gaya hidup hedonis yang dilakukan para kaisar, kaum bangsawan, orang-orang yang mempunyai kekuasaan dan kedudukan, serta masyarakat kaya biasanya menjadikan orang lain sebagai korban; korban mereka adalah para budak laki-laki dan perempuan serta tawanan perang.

Jauh sebelum abad pertama Masehi, di tengah-tengah masyarakat, sesuai dengan sikon masanya, telah ada gaya hidup hedonis. Hedonis kemudian menjadi hedonisme [Yunani, hedone artinya kesenangan, kenikmatan, bersenang-senang], merupakan gaya hidup yang mengutamakan dan mengagungkan kesenangan serta kenikmatan.

1381157616703046387Pada sikon itu, manusia, setelah memenuhi kebutuhannya, berupaya untuk memuaskan hampir semua keinginannya. Dan bisa saja, keinginan-keinginan itu tidak begitu penting, tetapi hanya merupakan suatu prestise, kebanggaan serta kecongkakan.

Di masa lalu, misalnya pada masyarakat Hellenis, tampilan gaya hidup hedonis berupa pengumpulan kekayaan; berkumpul di dan dalam theater [colleseum] sambil menonton opera; hura-hura pada arena pertarungan antara manusia-manusia dan manusia-binatang buas; perjudian, pesta pora [termasuk pesta seks dan penyimpangan seksual]. Bahkan, para kaisar, pada masa lalu, menjadikan perang dan darah sebagai salah satu sumber kesenangan.


Ada banyak orang Indonesia [terutama di kota-kota metropolitan] berhasil menguasai teknologi informasi. Kemudahan seseorang mendengar, membaca, dan melihat berbagai informasi dan gaya hidup dari luar [terutama dari dunia barat], dan terjerumus ke dalamnya. Sehingga mereka dipengaruhi dan terpengaruh, meniru serta mempraktekkannya pada konteks hidup dan kehidupannya. Walaupun, seringkali apa yang ditiru dan dipraktekan tersebut tidak sesuai dengan sikon sosial-budaya setempat atau lokal.

Pada konteks kekinian, ada banyak faktor mendorong gaya hidup hedonis; misalnya akibat mudahnya arus informasi dan komunikasi karena kemajuan tekhnologi informasi [TI]. Dan seringkali informasi yang mencapai [yang masuk ke dalam] suatu komunitas masyarakat, diterima apa adanya; kemudian dipakai sebagai bagian dari gaya hidup. Sikon seperti itu, juga terjadi pada masyarakat dan bangsa Indonesia.

Dan pada umumnya, yang paling mudah ditiru adalah gaya hidup. Sehingga, mudah dipahami bahwa ada masyarakat [terutama kaum muda] Indonesia, bergaya hidup orang Amerika dan Eropah atau bahkan melebihi masyarakat maju lainnya yang bersifat hedonis. Unsur-unsur gaya hidup hedonis, seperti pesta pora, kemabukan, pesta seks [dan penyimpangan seksual], perjudian, tampilan diri memamerkan kemewaan, dan lain sebagainya, seakan menjadi sesuatu yang wajar dan normal.

Dalam kerangka gaya hidup dan kehidupan seperti itu, kemudian muncul istilah-istilah baru namun sangat bersahabat dan populer, misalnya, dugem, clubers, teman tapi mesra, metro-seksual, sex after lunch, sex without love, dan lain-lain sebagainya; semuanya sebagai gaya hidup yang menyenangkan serta merupakan suatu keharusan kekinian bagi masyarakat maju.
Namun, pada satu sisi, banyak orang menilai bahwa gaya hidup dan kehidupan hedonis, pada dasarnya, merupakan penyakit sosial. Dengan itu, maka orang-orang yang bergaya hidup hedonis perlu ditherapi agar kembali menjadi normal. Penyakit yang muncul karena manusia telah kehilangan orientasi kemanusiaan serta kepekaan pada sikon sosial-kultural-masyarakat di sekitarnya masih bergemilang kemiskinan dan kebodohan. Dan mungkin, kaum agamawan [dan agama-agama] mempunyai pemikiran yang sama. Atau sebaliknya, kaum agawan juga terjebak dan terjerumus ke dalam lubang gaya hidup hedonis, sehingga ajaran-ajaran agama yang dianutnya hanya merupakan bentuk-bentuk keagamaan semu; mereka hanya sekedar beragama atau tanpa penghayatan yang benar.

Di sisi lain, orang-orang yang memperlihatkan atau mempraktekkan gaya hidup dan kehidupan hedonis, berpendapat bahwa apa yang mereka lakukan tersebut sebagai sesuatu yang wajar dan merupakan urusan pribadi; berada pada wilayah private seseorang; jadi tidak perlu diperdebatkan. Semua yang mereka lakukan itu, karena mempunyai kelebihan dari orang lain. Dan dengan kebihan tersebut, mereka [ia] harus mendapat kesenangan, kenikmatan, serta gemerlapan, yang penting tidak merugikan serta mengganggu orang lain. Bagi mereka hidup untuk dan harus dinikmati semaksimal dan sebaik-baik mungkin; karena hanya ada satu kesempatan untuk itu; hanya ada satu kesempatan untuk mengisinya dengan segala bentuk kesenangan. Menikmati gaya hidup dan kehidupan seperti itu, merupakan salah satu upaya melepaskan kelelahan setelah bekerja.

Meniru dan mempraktekkan gaya hidup dan kehidupan hedonis, sudah merambah kepelbagai lapisan masyarakat; seakan sudah merupakan suatu tuntutan keadaan, serta keharusan menjadi bagian darinya. Akibatnya, banyak orang berusaha [bekerja] keras agar mampu membiayai tuntutan-tuntutan gaya hidup dan kehidupannya. Di samping itu, karena gaya hidupnya, banyak orang melupakan kebutuhan spiritualnya, yang hanya bisa diisi oleh Agama.

JMP/RH/OI

Reifikasi

Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya, Ada kemalangan yang menyedihkan kulihat di bawah matahari: kekayaan yang disimpan oleh pemiliknya menjadi kecelakaannya sendiri. Dan kekayaan itu binasa oleh kemalangan, sehingga tak ada suatu pun padanya untuk anaknya.

Reifikasi adalah penilaian bahwa kesuksesan diukur dari sejumlah benda (benda-benda yang menjadi standar kemajuan) yang dimiliki. Pada konsep seperti itu, maka seseorang dianggap sukses jika mempunyai sejumlah (atau lebih dari satu) benda yang menjadi standar kekayaan pada hidup dan kehidupan modern.

Benda-benda yang menjadi standar kekayaan antara lain, pada masyarakat desa, memiliki lebih dari satu bidang sawah atau tanah ladang, mempunyai beberapa rumah, dan sejumlah besar ternak piaraan yang mempunyai nilai ekonomi. Sedangkan pada masyarakat kota, memiliki lebih dari satu mobil dan rumah, memiliki pekerjaan dan kedudukan yang baik; gaya dan tampilan hidup mewah, dan seterusnya.

Namun, secara negatif, dapat menjadikan seseorang mengejar kekayaan dengan segala macam cara, walaupun melanggar hukum serta norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Artinya, dapat melakukan segala bentuk kejahatan dan pelanggaran demi tujuan dan keinginannya tercapai.

Pada masa kini, reifikasi telah merambah ke dalam hidup dan kehidupan banyak orang; sehingga menjadikan mereka mengejar segala sesuatu yang telah menjadi ukuran kesuksesan. Hal itu terjadi, karena tiap manusia ingin disebut sebagai orang yang telah sukses. Keinginan untuk disebut sebagai orang sukses itulah, kemudian menjadikan seseorang melakukan berbagai penyimpangan ketika bekerja ataupun memangku jabatan.

Pada sikon seperti itu, ia akan melakukan KKN atau korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta tindak pelanggaran lainnya, termasuk melakukan berbagai manipulasi dan rekayasa administrasi keuangan, agar memenuhi atau memiliki benda-benda yang menjadi standar kesuksesan, sehingga disebut orang telah mencapai kesuksesan.

Dengan demikian, praktek reifikasi sebagai suatu penyakit sosial manusia modern. Penyakit sosial yang parah pada masyarakat maju dan berpendidikan, namun hampir tidak ada obatnya, selain penghayatan dan pemahaman keagamaan yang baik dan benar. Reifikasi sebagai penyakit sosial yang melahirkan orang-orang melakukan atau mempraktekkan kolusi, korupsi, dan nepotisme.

Kolusi-korupsi-nepotisme, menjadikan seseorang secara sadar, membiarkan dirinya terus menderita penyakit sosial yang akut. Dan penyakit tersebut dapat ada pada [diderita oleh] diri para pejabat, pemegang kekuasaan, aparat pemerintah, militer, dan lain-lain; atau dapat menular ke siapa pun dan di mana pun; namun mereka tidak mau mengobati dirinya sendiri.

RH/JMP

Fragmentasi

Fragmentasi yang dimaksud di sini adalah hubungan antara manusia pada suatu rentang waktu dan lokasi tertentu. Artinya, pada suatu lokasi tertentu, terjadi hubungan antar manusia yang penuh keakraban, tulus, jujur, dan penuh keramahan; namun kemudian menjadi putus setelah mereka keluar dari lokasi tersebut; lamanya hubungan itu, terbatas pada keberadaan pada lokasi mereka berhubungan. 
Fragmen artinya bagian-bagian kecil suatu benda, namun masih terlihat ciri-ciri asalnya; fragmen juga bermakna babak atau bagian dari suatu sandiwara atau drama. Tetapi, fragmentasi yang dimaksud di sini adalah hubungan antara manusia pada suatu rentang waktu dan lokasi tertentu. Artinya, pada suatu lokasi tertentu, terjadi hubungan antar manusia yang penuh keakraban, tulus, jujur, dan penuh keramahan; namun kemudian menjadi putus setelah mereka keluar dari lokasi tersebut; lamanya hubungan itu, terbatas pada keberadaan pada lokasi mereka berhubungan. 
Pada umumnya fragmentasi yang terjadi atau terbangun itu, mendatangkan manfaat pada orang lain [biasanya orang-orang dekat]; hubungan timbal balik yang erat, dan hanya terjadi pada rentang waktu dan tempat tertentu. 
Misalnya, hubungan baik antara guru dengan orang tua, selama anaknya menjadi murid atau belajar di sekolah tertentu. Melalui hubungan itu, orang tua mengharapkan anaknya mendapat perhatian lebih dari guru. Tetapi, ketika anaknya lulus, maka keakraban hubungan yanag pernah terbangun menjadi hilang, bahkan seakan tidak pernah saling mengenal. Bisa juga terjadi ketika interaksi di tempat duduk pesawat, KA, bus antar kota, dll, ada percakapan yang akrab, namun setelah sampai di tujuan, maka terlupakan dan saling melupakan;  
Interaksi sosial, rakyat Indonesia, bangsa dan negaraku, juga hampir sama; setiap hari ada atau terjadi hubungang, namun cepat sekali saling melupakan, dan bahkan menjatuhkan dengan nada amarah serta kebencian.  
Fragmentasi, sesaat menyatukan karena untuk mencapai tujuan yang sama dan hampir sama; dan setelah mencapai tujuan, kembali saling tak mempedulikan.
Fragmentasi menjadikan persahabatan, hubungan, koalisi, keakraban dan hubungan antar manusia menjadi SEMU, berdasarkan kepentingan dan keuntungan; tidak ada perhatian, tidak ada kasih, tidak simpati dan empati; semuanya penuh “demi tujuan atau mencapai tujuan”
Lalu, di mana model interaksi kita; antara diri mu dengan sesama pada sikon hidup dan kehidupan sekarang in.

RH/OI

Nilai-nilai Hidup dan Kehidupan


Nilai-nilai hidup dan kehidupan merupakan hasil kebudayaan; atau salah satu unsur kebudayaan adalah nilai-nilai hidup dan kehidupan? Kedua-duanya tidak dapat dipisahkan karena mempunyai kaitan erat. Jika kebudayaan dimengerti sebagai hasil cipta manusia untuk memperbaiki, mempermudah, dan meningkatkan kualitas diri; maka nilai-nilai hidup dan kehidupan merupakan hasil kebudayaan. Akan tetapi, jika kebudayaan dimengerti sebagai keseluruhan kemampuan [pikiran, kata, dan tindakan atau perbuatan] manusia; maka nilai-nilai hidup dan kehidupan merupakan unsur-unsur kebudayaan yang digunakan untuk berinteraksi dengan lingkungan dan sesuai sikonnya.


1381018664130619343Pada interaksi antar manusia, biasanya mencerminkan etika, etiket, dan kata-kata maupun tindakan etis yang ada atau melekat pada diri mereka. Di samping itu, juga memperlihatkan nilai dan norma yang dianut atau diberlakukan dalam hidup dan kehidupannya. Menurut maknanya, etika, etiket, hal-hal etis, nilai, dan norma dapat berlaku atau mempunyai kesamaan secara universal.

Akan tetapi, jika diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk kata dan tindakan serta perilaku dalam interaksi antar manusia; maka berbeda sesuai sikon serta lingkungan interaksi itu terjadi. Orang-orang di benua Amerika, Eropa, Asia mempunyai pengertian atau pun pemahaman yang relatif sama tentang etika, etiket, hal-hal etis, nilai, norma. Namun, ada kata-kata, tindakan, dan perilaku keseharian yang telah menjadi kebiasaan orang-orang Amerika dan Eropa yang berbeda dengan masyarakat Asia maupun Afrika, dan seterusnya. Dan jika kebiasaan-kebiasaan itu dipraktekkan pada sikon Asia, maka dianggap [atau pun disebut dan dituduh] tidak etis dan tak sesuai nilai-nilai atau pun norma ketimuran, dan lain sebagainya.

Sedangkan hidup dan kehidupan merupakan seluruh aspek yang bertalian dengan manusia serta kemanusiaannya; dalam hubungannya dengan sesama dan Ilahi.

Jadi, nilai-nilai hidup dan kehidupan merupakan keseluruhan tampilan diri, sikap, kata, perbuatan manusia sesuai sikonnya. Nilai-nilai hidup dan kehidupan manusia biasanya dipengaruhi oleh masukan-masukan dari luar dirinya sejak kecil. Hal-hal tersebut, antara lain,
  • agama atau ajaran-ajaran agama, biasanya bersifat mutlak; artinya tertanam dan berakarnya nilai-nilai dalam diri seseorang, yang kadang telah menjadi prinsip hidupnya, merupakan akibat dari pemahaman keagamaan yang kuat dan mendalam; dan seringkali ia tidak bisa menjelaskan alasan-alasan mempunyai prinsip [yang mungkin orang lain menganggap sebagai suatu kekakuan], namun karena imannya, ia tetap pada pendiriannya
  • norma atau pun kebiasaan yang berlaku dalam komunitas; norma-norma yang berlaku pada suatu komunitas biasanya bersifat warisan bersama; artinya semua anggota komunitas menyetujui dan mempraktekkannya. Karena merupakan warisan bersama, maka hal itu terus-menerus diturunkan kepada generasi berikut; dan bisa dipakai sebagai salah satu indentitas bersama pada komunitas tersebut; dengan demikian, sampai kapan atau dimana pun ia berada, maka selalu mempertahankan nilai-nilai tersebut
  • pendidikan formal dan informal, disiplin, latihan, bimbingan orang tua maupun guru; semuanya itu merupakan penanaman nilai-nilai yang dilakukan sejak dini oleh orang dewasa ke dalam diri seseorang atau anak-anaknya. Proses penanaman itu dilakukan secara sengaja maupun tidak, dengan tujuan tertanam nilai-nilai luhur, baik, dan benar, yang menjadikan seseorang, dapat diterima oleh sesamanya
  • interaksi sosial yang membawa perubahan pikiran dan tujuan mengungkapkan kata serta melakukan tindakan
  • pengalaman serta wawasan yang didapat karena adanya interaksi dengan orang lain serta keterbukaan menyerap hal-hal baru
Dengan demikian, ada kesamaan nilai-nilai hidup dan kehidupan yang ada di suatu komunitas masyarakat; kesamaan yang berlaku dan diterima oleh seluruh anggota komunitas. Hal tersebut, termasuk nilai-nilai keagamaan, berlaku untuk semua umat yang menganut agama. Walaupun demikian, pada masing-masing orang [tiap-tiap pribadi] ada nilai-nilai yang khas, sesuai dengan masukan-masukan yang didapatkannya. Dan bisa saja [seringkali] terjadi, nilai-nilai hidup dan kehidupan pada pribadi seseorangberbeda dengan yang berlaku dalam masyarakat. Nilai-nilai hidup dan kehidupan dalam masyarakat pun mempunyai aneka perbedaan tertentu karena berbagai latar belakang anggotanya.

Masukan-masukan [ajaran] keagamaan yang dominan pada seseorang sangat mempengaruhi nilai-nilai hidup dan kehidupannya. Orang yang mempunyai nila-nilai keagamaan yang baik, kokoh, dan kuat, akan menjadikan ia mampu bersifat kritis terhadap hal-hal ada di sekitarnya. Namun, nilai-nilai hidup dan kehidupan yang dominan [karena] ajaran agama tidak boleh menjadikan fanatisme keagamaan yang sempit. Nilai-nilai keagamaan dapat menjadi suatu saringan untuk mampu menahan diri terhadap semua pengaruh buruk. Dengan itu, jika seseorang yang mendapat masukan-masukan ajaran Kristen, maka ia akan mempunyai nilai-nilai kristiani dalam hidup dan kehidupannya.

JMP/RH

Topeng



Anda bisa mengenal, menandai wajahnya, dan ingat siapa dia, yang fotonya terpapang atau tergantung di dinding!? itu hanya bisa terjadi, karena ia tak menutup wajahnya dengan apa pun. Dengan demikian, siapa bisa mengenal, mengasihi, atau membencinya.

Banyak orang, biasanya, ingin tampil apa adanya; apa adanya dalam kata, tindaka, dan tulisan. Dengan demikian apa-apa yang ditampilkan merupakan ekpresi dari dalam dirinya. Sehingga, kadang ada yang mengatakan bahwa seseorang dapat terbaca melalui kata, tindakan, dan tulisannya.

Akan tetapi, dalam perkembangannya, cukup sulit untuk menemukanorang-orang yang dapat terbaca tersebut; hal itu terjadi karena mereka menggunakan atau memakai sesuatu.
Sesuatu yang bisa dan biasa dipakai untuk menutupi sesuatu; sesuatu dia awal kalimat  bisa kain, kayu, kulit, kertas, plastik, dan lain sebagainya; sesuatu yang berikutnya, bisa sesuatu yang hidup, mati, atau pun benda-benda tertentu. Apa pun bentuk dan modelnya serta bahan dasarnya, fungsinya adalah untuk menyembunyikan yang sebenarnya, serta menampilkan ketidakaslian - memperlihatkan yang tak sebenarnya.

Fungsi kontradiktif menyembunyikan dan menampilkan itulah, yang menjadikan banyak orang akrab dengan benda-benda yang berfungsi sebagai penutup tersebut. Akan tetapi, dalam perkembangan kemudian, ada juga yang tidak menutupi sesuatu sehingga tak terlihat, namun transparan, jelas, tampil apa adanya, namun sebetulnya  tertutup dan tak terlihat.

Ko’ bisa …!? misalnya, seseorang tampil dengan wajah yang jelas, tanpan, bersih, gagah ataupun cantik dan manis, itu yang terlihat, namun ia menyembunyikan jati dirinya yang sebenarnya. Dengan demikian ia sebetulnya menggunakan penutup diri (yang abstrak namun nyata; untuk ini, ku juga bingung menggunakan istilah yang pas), serta tak menampilkan yang sebenarnya.

Itu hebatnya si alat penutup tersebut, menutupi/menyembunyikan sekaligus terbuka dan terlihat - menyembunyikan serta memperlihatkan; dan di planet Bumi ini, tak ada alat/benda canggih, berfungsi ganda yang kontradiktif pada saat sama.

Agaknya, karena hebatan itulah, maka kini (dan mungkin sejak masa lalu),benda tersebut paling sering dipakai secara konkrit serta abstrak.
  • Lihat saja, politisi/kus, anggota parlemen, menteri, gubenrnur, bupati, tokoh agama, dan seterusnya, terlihat dengan jelas dan nyata betapa anggun, berwibawa, bermoral baik, berteladan dan lain sebagainya. Akan tetapi, di balik tampilan wah tersebut, tak sedikit dari antara mereka adalah koruptor, pencuri uang rakyat, tanpa etika, bermoral rendah dan seterusnya.
  • Atau, pada satu sisi, mereka tampil sebagai tokoh - pemuka yang berteladan, namun di sisi lain, ia (mereka) adalah seseorang yang tak patut diteladani dan menjadi contoh.
  • Bisa saja, ada orang tampilan dirinya sebagai ayah, suami sejati dan ideal, namun di balik itu, ia juga seorang poligamist ilegal ataupun pemberang;  mungkin juga sebaliknya dari hal tersebut.

Nah, itulah sesuatu yang bisa dan biasa dipakai untuk menutupi sesuatu.Mungkin kita (termasuk saya yang sementara membaca) pernah menggunakan atau memakainuya;!? jawaban pastinya terjawab dalam diri masing-masing.

And mungkin saja diriku yang membaca ini, juga menggunakannya; menggunakan sesuatu untuk menutupi diri agar dikatakan bisa, hebat, luar biasa, mampu, toleran, dan semua yangg postif laiinya, namun ketika sesuatu itu dibuka, maka terlihat kebalikannya.

Tampilan diri dengan gunakan penutup itu ada di mana-mana; ada di media, parlemen, di masyarakat, atau di segala tempat. Mereka bisa bersembunyi di balik institusi resmi maupun tidak; dan ketika dirinya, idiologinya, golongannya terusik atau merasa ada yang ganggu, maka dengan kekuasaan atau wewenang yang ada padanya, ia atau mereka melakukan penindasan, kekerasan, ataupun tindakan-tindakan yang tak terpuji.

Tragis